Generasi mendatang Indonesia tidak perlu khawatir dibebankan membayar utang negara Indonesia. Selain utang negara relatif kecil dibandingkan kemampuan Indonesia membayarnya, utang itu dikelola secara efisien untuk kesejahteraan masyarakat.
“Kemampuan kita membayar utang sangat besar, karenanya utang itu tidak akan menjadi beban generasi ke depan,” tegas Wahyu Utomo, Kepala Bidang Belanja Pusat dan Pembiayaan Kementerian Keuangan RI pada Sosialisasi Strategi Pengelolaan Utang Negara di Ruang Pertemuan Rektorat Kampus Terpadu UBB, Balunijuk, Merawang, Kamis (17/09/2015) pagi.
Selain Wahyu, dalam sosialisasi yang dihadiri mahasiswa dan dosen Fakultas Ekonomi (FE) UBB ini tampil sebagai narasumber Erwin Ginting (Perwakilan Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kemenkeu) dan Reniati (Dekan FE UBB). Acara ini dipandu Abu Nizarudin (Ketua Program Studi Akuntansi).
Erwin mengakui utang Indonesia selalu meningkat, seiring dengan peningkatan defisit APBN. Namun menurut dia, dilihat dari sisi rasio utang terhadap PDB (Product Domestic Bruto), utang Indonesia relatif stabil pada kisaran 23 hingga 25 persen.
Ia memaparkan saldo utang pemerintah di akhir tahun 2014 sebesar Rp 2.605 triliun, kemudian di akhir 2015 diproyeksikan menjadi Rp 2.884 triliun. Sementara PDB tahun 2014 sebesar Rp 10.543 triliun, dan proyeksi PDB akhir 2015 sebesar Rp 11.701 triliun.
Menurut Wahyu, sesuai ketentuan Undang-undang Keuangan Negara (UU KN), disebutkan pengadaan utang baru tak boleh lebih besar dari tiga persen PDB, dan ratio utang harus di bawah 60 persen PDB.
“Kenyataannya, utang Indonesia masih selalu di bawah ketentuan tersebut. Ini berarti kemampuan kita untuk membayar ansuran dan bunganya masih sangat tinggi,” ujar Wahyu.
Menurut Erwin, pemerintah menggunakan utang untuk membiayai defisit APBN. Bahwa terjadi defisit, ini disebabkan besarnya belanja pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui anggaran pendidikan, infrastruktur, kesehatan dan dana desa.
Tahun 2015 contohnya, pemerintah memiliki target penerimaan APBN sebesar Rp 1.761 triliun, dan belanja negara sebesar Rp 1.984 triliun. Ini berarti defisit pada APBN sebesar Rp 222 triliun, yang sebagian besar dibiayai melalui pengadaan utang oleh pemerintah.
Pembiayaan utang itu, lanjut Erwin, berasal dari pinjaman dalam negeri, penarikan pinjaman luar negeri dan penerbitan SBN (surat berharga negara). Pinjaman dalam negeri sebesar Rp 1,6 triliun, SBN Rp 297 triliun, sementara pinjaman luar negeri minus Rp 20 triliun.
“Mengapa minus, karena kita lebih banyak melunasi pinjaman luar negeri, ketimbang penarikan pinjaman luar negeri,” kata Erwin.
Dikemukakan, ratio utang Indonesia terhadap PDB lebih rendah di banding Thailand, Filipina dan Malaysia. Beberapa negara, seperti Jepang, Amerika Serikat dan Inggris, bahkan utang pemerintah mereka cenderung meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.
Pemerintah dalam melakukan kebijakan utang juga mengacu pada stabilitas risiko utang, di mana pemerintah mengutamakan utang dalam bentuk rupiah dalam negeri (dalam bentuk penerbitan obligasi, SBN) dibandingkan utang luar negeri (dalam bentuk valuta asing).
Selain itu pemerintah juga mengutamakan pengadaan utang dalam bunga tetap dibandingkan bunga mengambang. Ini semua untuk mengendalikan risiko tingkat bunga. (eddy jajang j atmaja)