Sore ini cerah, secerah saat kita berdua dipertemukan setelah dua semester kita diuji jarak. Bus sekolah kuning pucat yang gagah ini, dengan para penumpangnya yang terlelap nyenyak, atau sibuk dengan ponselnya, mendengarkan lantunan musik lewat sepasang earphone-nya dan juga sepasang muda yang girang bercengkrama tentang kemudaan, selalu senantiasa mengantarkanku ke kampus gudang ilmu.
Semua menjadi pemandangan rutin dalam sekotak kendaraan beroda 4 ini. Aku yang berdiri tepat di pintu bus, hanya mampu menikmati biru langit dengan vertikal hijaunya jejeran pohon rindang lewat kaca jendela yang mengernyit saat melewati jalanan yang ‘tak rata. Sinar matahari senja yang berani menerobos kaca-kaca bening ini, menyapa wajah lelahku, membuatku menutup mata sejenak, membiarkan ia menghangatkanku.
Dalam pejam netra sekejapku, sosokmu kembali muncul. Suara tawa ringanmu saat itu, tatapan tajam sepasang bola matamu dan lambaian tangan itu, semua mengacaukan batas antara kenangan dan kenyataan. Menguatkan dan melemahkan dalam satu saat yang bersamaan.
Saat dimana aku merasa punya segalanya namun aku berupaya beranjak menjauh dari itu semua. Saat dimana aku ingin menolak apa yang selama ini aku panjat doakan. Berat langkah kakiku menuju. Berat tatapan mataku beralih adu. Hingga basah terasa di ujung mata sayu, menyadarkanku bahwa aku telah ‘tak lagi di situasi itu.
Garis cakrawala samar terlihat mencoba melawan lekuk menawan siluet pemandangan senja sore di langit negara matahari terbit ini. Jauh kumelihat di balik tipis pembatas dunia itu, “Sedang apa kau disana?” Tanyaku lirih.
Liku labirin waktu dan jalan terjal telah kita lalui. Suka senang, gelak tawa, rindu kepercayaan, saling dukung dan topang, canda tingkah polah laiknya bocah, amarah, dendam, cemburu, curiga, selingkuh, khianat, diam, hilang perhatian, lupa janji jenuh akan diri masing masing, semua kita cicipi, kita rasai. Merusak dan saling memperbaiki. Terputus lagi dan saling menyambung diri. Menghilang dan saling menemukan. Melemah dan saling menguatkan. Meninggalkan dan saling menantikan.
Tanpa sadar, kubelajar akan makna kesetiaan yang selama ini aku ‘tak tahu menahu indahnya itu, semua darimu. Meski melibatkan banyak kaummu dan kaumku sebagai peran penting di setiap sekuel lembar cerita roman kita. Darimu, aku belajar menghargai sesuatu yang ‘tak bernilai menjadi sesuatu yang tak ternilai.
Setiba di halaman sekolah, kuambil sepedaku yang tangguh, ku kayuh ia mengantarku pulang ke peraduan. Kini ku bisa merasakan asli sepoi angin senja hari. Sambil mendengarkan lagu kesukaan kita, kembali kunikmati sosokmu yang ‘tak lebih dari bayangan semu.
Silau cahaya senja dengan lugas menerpa semua bagian tubuhku, memaksaku untuk sedikit menyipitkan sepasang mata kecil ini, ah…semua ini terlalu indah kulalui tanpamu, gumamku. Sempat terpikir andai bisa kucuil senja yang romantis ini, kubungkus dan ku bawa terbang untuk kupersembahkan padamu. Hingga bisa menciptakan bayang sosok kita berdua.
Wajah-wajah pribumi mengisi pemandangan sepanjang jalan kembaliku. Segala gurat garis di paras mereka, menyadarkanku bahwa kini ku ‘tak lagi membutuhkan cermin waktu untuk ku mengetahui pantulan usia dan beda dalam setiap jiwa yang hidup. Mengingatkanku, bahwa ‘tak lama lagi angka usia ini bergeser.
Dan untuk kedua kalinya, akan kulewati tanpamu, di sini. Meski kutahu kita saling meluangkan waktu di satu malam, untuk menyebut nama masing-masing dalam lantunan doa yang seakan menghapus jarak samudera liar di sana.
Kasih, tahukah kau? Ikhlas cintamu yang ‘tak berkemas indah dan menawan, namun rasa tunggal itu telah selalu menghantarku sebatang kara ke negeri sebrang ini. Meyakinkanku, bahwa sederhana rasa kita memegahkan segala usaha jerih payah. Memantapkanku, bahwa jauh jarak ini terasa terhapus berkat gigih perjuanganmu merangkulku dengan keanggunan tingkah laku kelelakianmu.
‘Tak seperti Chairil yang mengurungkan niat ungkapkan rasa saat ia jatuh cinta pada Sri Ayati di masa mudanya, kepribadianmu yang latif nan lembut dalam memperlakukan ku sebagai perempuan terindah, membuatku merasa sangat beruntung dilahirkan sebagai kaumku, dan Sri Ayati ‘tak seberuntung aku di masanya.
Ujian bertubi ‘tak lelah berhenti, menerpa niat istiqamah ini. Namun yakin diri berikrar, cambuk ruang dan waktu ini menguatkan semua yang rapuh dan ragu. Memondasi dan saling memperbaiki. Meniang kokoh dan saling mempercayai. Menembok rapat dan saling menjagai. Mencipta atap dan saling melindungi.
Kasih, tunggu aku di situ. Kelak ku akan kembali ke rangkul hangatmu dan gores seribu kisah anyar nan apik di tiap lembar perkamen roman kita, dan hanya kita. Cengkrama deretan huruf berjejer kita, bak rantai yang menembus bingkai jarak, erat saling mencengkram, ‘tak berjarak ‘tak berputus.
idntimes.com