Kerokan biasanya dilakukan oleh orang dewasa dan lanjut usia. Pada orang lanjut usia, kondisi imunitas tubuh yang menurun menyebabkan lebih rentan mengalami gejala 'masuk angin', seperti perut kembung, sakit kepala, nyeri dan sebagainya.
"Selain pada orang yang memiliki alergi atau kelainan pada kulit, kerokan masih aman dilakukan dan mampu memberikan efek yang sama," ujar Prof Dr dr Didik Gunawan Tamtomo, PAK, MM, MKes pada Seminar Ilmiah 'Sehat Dengan Tahajud dan Kerokan', di auditorium Masjid Raya Pondok Indah, Jakarta Selatan, dan ditulis pada Senin (7/9/2015). Prof Didik adalah orang yang pernah melakukan penelitian terhadap kerokan dan manfaatnya.
Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta ini mengungkapkan bahwa bayi dan balita pun bisa diobati dengan metode kerokan. Namun kekuatan kerokannya harus disesuaikan. Jangan kuat-kuat saat mengerok bayi dan anak-anak, sebab anak usia dini jaringan kulitnya masih lemah dan rentan terhadap tekanan-tekanan yang kuat, apalagi pada bayi.
Untuk itu, jika ingin melakukan kerokan pada bayi, Prof Didik menganjurkan agar menggunakan bawang merah yang telah dipotong kecil-kecil. Jadi bawang merah yang sudah dipotong digerakkan seperti saat kerokan dengan koin. Tidak perlu lama-lama karena dikhawatirkan bisa mengiritasi kulit bayi.
Menurut Prof Didik, sebenarnya kerokan juga boleh dilakukan pada ibu hamil. Untuk ibu hamil, kerokan dapat dilakukan di seluruh bagian tubuh selain leher dan area perut.
"Kalau di punggung boleh. Karena selain ada efek melancarkan peredaran darah, kerokan juga bisa memberi efek menenangkan. Cuma memang ada kepercayaan di masyarakat yang mengatakan agar ibu hamil sebaiknya jangan dikerok," sambung Prof Didik.
Bagi orang dengan hipertensi pun, tambah Prof Didik, kerokan juga bisa dilakukan dan tidak membahayakan. "Produksi beta endorfin saat setelah kerokan pada tensi efeknya tidak terlalu besar. Mestinya tidak ada gangguan apa-apa. Hipertensi itu kan merupakan salah satu gejala masuk angin," ucapnya.