-->

Sabtu, 14 Februari 2015

Wow, Satu-Satunya dari Indonesia, Anak Bontang Ini Jadi Tim Badan Riset di Belanda

Wow, Satu-Satunya dari Indonesia, Anak Bontang Ini Jadi Tim Badan Riset di Belanda - Generasi muda di Kota Taman diam-diam rupanya terus mengukir emas di mata dunia. Setelah nama Asriyadi, Vira, dan sejumlah mahasiswa, kini ada nama lain yang mengharumkan nama Bontang. Dia adalah Ryvo Octaviano. Alumnus SMA Yayasan Pupuk Kaltim (YPK) itu, saat ini menjadi satu-satunya orang Indonesia yang tergabung dalam tim badan riset independen Belanda. Posisinya pun tidak main-main; control engineer di bidang energi yang meliputi oil & gas serta renewable energi.

“Ada 2 role yang saya kerjakan sebagai control engineer di badan riset Belanda ini. Yang pertama adalah sebagai konsultan di bidang oil & gas. Lalu yang kedua adalah sebagai researcher di bidang renewable energy,” kata Ryvo –sapaannya– kepada KlikBontang.com.

Dijelaskan secara rinci, kata Ryvo , role pertama sebagai konsultan biasanya membantu client untuk melakukan analisis detail untuk meningkatkan produksi gas dan 3rdpartyassessment sesuai standar yang berlaku di internasional. “Beberapa proyek yang saya kerjakan meliputi Subsea Underwater Technology di North Sea. Client saya adalah perusahaan oil & gas yang beroperasi di negara Inggris dan Norway,” paparnya.

Sedangkan untuk role kedua sebagai researcher, biasanya Ryvo bertugas untuk mengerjakan proyek Uni Eropa. Yaitu kerjasama antara berbagai badan riset di eropa dan beberapa universitas serta berkolaborasi dengan industri. “Salah satu proyek yang sedang saya kerjakan adalah bagaimana mengatur penggunaan sistem energi hybrid yang meliputi grid connection (koneksi jaringan listrik), solar panel (panel surya), wind turbine (pembangkit listrik tenaga angin), gas network (jaringan pipa gas) dapat digunakan optimal sesuai dengan kebutuhan,” ungkap putra dari pasangan Rusly dan Susri Yetti itu.

Ryvo mengaku, Belanda adalah negara yang memiliki jaringan energi yang terintegrasi satu sama lain. Harga tarif listrik pun berbeda setiap jam. Sebagai contoh akan mahal pada saat peak hour (sore/malam) tapi murah pada saat siang hari. Apabila konsumen menghasilkan listrik sendiri melalui solar panel atau wind turbine bahkan bisa dijual ke provider. “Di sinilah peran saya merancang algoritma dan alat untuk mengkontrol penggunakan energi tersebut agar efisien dan optimal,” ujar lulusan S1 Teknik Elektro Intitute Teknik Bandung (ITB) ini.

Sebagai orang Indonesia, Ryvo boleh berbangga hati. Pasalnya, dalam bekerja dirinya tergabung dalam tim. Dimana tim itu, dikerjakan oleh beberapa negara seperti proyek Uni Eropa atau hanya dilakukan TNO sendiri. “Namun, bisa dibilang departemen saya cukup internasional. Ada sekitar 11 orang warga non Belanda. (Spanyol, Italia, Iran, India, Indonesia, Jerman, Perancis, Mexico, Red.) dari 60 orang yang tergabung di departemen ini. Di sini kita tidak diperlakukan secara khusus dari negara mana kamu berasal. Asalkan kita memiliki kompetensi dan kemampuan yang dibutuhkan serta baik dalam mengerjakan proyek, tentu saja role kita akan dianggap penting. Sepertinya hal ini berlaku di mana-mana,” jelasnya.

Profesi yang pantas dibanggakan itu memang tidak mudah diraih dirinya. Sebagai orang yang ingin sukses, lika-liku juga pernah dia rasakan. Pria kelahiran Jambi ini sebelum mencari nafkah di negeri kincir angin, memang sempat lama di Bontang. “Kira-kira sekitar 18 tahun lamanya. Dari SD, SMP, dan SMA saya belajar di YPK. Ayah saya bekerja di PT Pupuk Kaltim sebagai process engineer dengan latar belakang dia sebagai seorang sarjana Teknik Kimia dan ibu saya adalah karyawati bank BRI Bontang. Sekarang mereka berdua menetap di Jakarta setelah Ayah pensiun dari pekerjaannya,” ujarnya.

Menginjakkan kaki di negeri yang pernah menjajah Indonesia selama 3 abad lebih itu sebenarnya bukanlah tanpa kebetulan. Dari dulu, cita-cita untuk melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi di luar negeri memang sudah ia tanamkan. “Lulus SMA saya mengikuti program seleksi beasiswa NTU, tetapi nasib belum berjodoh, saya gagal dalam proses seleksi tersebut.Namun, Alhamdulillah saya diterima di program Teknik Elektro ITB,” urainya.

Nah, jalan menuju ke Belanda mulai terbuka saat ia ada di tingkat 3 kuliah. Kala itu, ia mengikuti seleksi Beasiswa Media Technology kerjasama antara ITB dengan Dikti melalui jalur prestasi. ”Alhamdulillah saya mendapatkan beasiswa ini sehingga biaya kuliah tingkat 3 dan 4 ditanggung sepenuhnya, biaya hidup selama 2 tahun serta biaya bantuan tugas akhir,” katanya.

Jalan menuju cita-cita ia kembali lanjutkan. Kali ini melalui jalur pendidikan S2. Berbagai informasi beasiswa terus dia cari. “Pada saat itu sangat sedikit pilhan yang ditawarkan, tidak seperti saat ini banyak pilihan beasiswa seperti melalui LPDP. Umumnya beasiswa mensyaratkan minimal pengalaman kerja 2 tahun atau harus dari instansi pemerintah. Namun usaha saya tidak terhenti di sana. Saya mencoba melihat kemungkinan beasiswa yang ditawarkan oleh kampus atau negara yang dituju,” ucapnya.

Dan akhirnya, benar saja. Usahanya tidak sia-sia. Dari 3 aplikasi yang ia masukkan ke berbagai universitas di Eropa, nama Ryvo secra resmi diterima di TU Eindhoven Belanda di jurusan Control Systems. “Beasiswa ini bernama ALSP (Amandus H. Lundqvist Scholarship Program). Ada 2 orang dari Indonesia yang berhasil menembus beasiswa ini dari 40. Sisanya dari megara Meksiko, Inggris, China, Romania, Jerman, Spanyol, dll,” kata dia. “Untuk persyaratan administrasinya cukup mudah : IPK minimal 3, surat sertifikasi bahasa IELTS > 6.5 atau TOEFL > 90, surat rekomendasi, dan surat motivasi belajar. Proses selanjutnya adalah questionnaire mengenai pribadi. Alhamdulillah dengan beasiswa ini biaya kuliah saya selama 2 tahun dan biaya hidup selama 2 tahun juga tercover (sekitar Rp 600 juta, Red.),” sambungnya.

Meski sudah berkarir di Belanda, namun rupanya Ryvo tak mau lupa dengan kampung halamannya. Ada sejumlah harapan yang ingin dia capai di negerinya sendiri. “Saat ini saya harus memenuhi kewajiban saya untuk bekerja minimal 3 tahun dulu di Belanda. Saya juga ada niat untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, Doktoral. Namun belum tahu bakal di negara mana dan kapan waktu yang tepat. Saat ini saya fokus ingin mengembangkan pengetahuan dan pengalaman yang kira-kira nantinya akan dibutuhkan oleh Indonesia. Saya juga giat membangun koneksi yang bisa saya gunakan dikemudian hari,” harapnya.

“Tentu saya mimpi akhir saya ada di Indonesia, saya dilahirkan di sana, dan di sana pulalah saya akan mengabdikan diri dengan segala pengalaman yang telah saya dapatkan di luar. Saya menyarankan untuk para pemuda-pemudi untuk membuka wawasan lebih luas, mencari kesempatan untuk menempuh pendidikan lebih tinggi baik di dalam negeri atau di luar negeri. Alhamdulillah saya bisa merasakan pengalaman hidup yang luar biasa hingga saat ini walaupun berasal dari suatu kota kecil nan indah di pulau Kalimantan,” tutupnya. 
--sumber : klikbontang.com---

Previous
Next Post »